Kunjungan lapangan mahasiswa peserta “Lombok Youth Camp for Peace Leaders”, ke sejumlah tempat ibadah di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), Rabu (24/1), membawa semangat untuk tetap merajut cinta kasih dan persaudaraan dalam perbedaan.
Interaksi-interaksi sosial antar umat beragama yang ditunjukan dalam kegiatan tersebut, juga membawa pesan bagaimana generasi muda Indonesia memaknai keberagaman bangsa ini, serta menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan dan kesatuan dalam kerangka NKRI.
“Kegiatan kunjungan ke sejumlah tempat ibadah ini dilakukan untuk memupuk silahturahim dengan penganut agama lainnya. Selain itu juga untuk mengenalkan para peserta Youth Camp ini tentang keberagaman dan nilai-nilai toleransi,” kata Direktur Nusatenggara Centre, Prof Dr Suprapto.
Kegiatan “Lombok Youth Camp for Peace Leaders” melibatkan sekitar 200 orang mahasiswa dari 78 Perguruan Tinggi Keilmuan Islam Negeri (PTKIN) se-Indonesia, sejak Senin (22/1) hingga Kamis (25/1) mendatang, dipusatkan di kawasan pantai Klui, Desa Medana, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara, NTB.
Kegiatan yang digagas Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dan Nusatenggara Center (NC) NTB, itu membahas sejumlah langkah untuk merumuskan keterlibatan mahasiswa dalam upaya menekan dan mencegah radikalisme dan ekstrimisme berlatarbelakang agama.
NTB sendiri dipilih sebagai lokasi Youth Camp karena dinilai sebagai daerah yang bisa menjadi contoh baik bagi nilai-nilai toleransi. Dimana daerah dengan penduduk beragam suku dan agama ini mampu hidup damai berdampingan.
Pada Rabu (24/1), para peserta dibagi dalam lima kelompok, melakukan kunjungan ke sejumlah tempat ibadah dan tempat-tempat bersejarah di Pulau Lombok. Tiap kelompok beranggotakan 40 orang peserta.
Suprapto memaparkan, kelompok pertama mengunjungi Kemaliq dan Pura Lingsar di Lombok Barat, serta Makam Loang Baloq di Ampenan, Kota Mataram.
Kelompok kedua mengunjungi Vihara Bentek dan masyarakat Budha di Desa Lenek, Kecamatan Tanjung, Lombok Utara. Kelompok ketiga mengunjungi Museum Provinsi NTB dan Gereja Protestan di Indonesia Barat (GPIB) Immanuel, Mataram.
Kelompok keempat mengunjungi Taman Mayura di Cakranegara Kota Mataram, dan Klenteng Ampenan. Sedangkan kelompok kelima berkunjung ke Taman Narmada dan Ponpes Nurul Haramain Narmada.
“Dengan kunjungan seperti ini dan interaksi langsung dengan umat berbeda agama, para peserta bisa lebih memahani keberagaman dan nilai-nilai toleransi. Hal demikian sebagai wujud praktik atas nilai-nilai universalitas yang dimiliki agama Islam,” kata Suprapto.
Kunjungan silaturahim itu, menurutnya, juga bertujuan memperkuat hubungan persaudaraan antar sesama. Hal ini juga menunjukan bahwa Islam merupakan agama yang Rahmatan lil’alamin.
Kehadiran para mahasiswa peserta Lombok Youth Camp, disambut penuh keakraban saat berkunjung ke GPIB Immanuel Mataram.
“Kami sangat menyambut baik kegiatan seperti ini. Dengan silahturahmi dan interaksi seperti ini maka persatuan dalam keberagaman antar pemeluk agama bisa terus terjaga. Terutama untuk memperkokoh bangunan NKRI ini,” kata Ketua II Bidang Gereja Masyarakat dan Agama (Germasa) GPIB Immanuel Mataram, Pdt Daniel Rosang.
Menurut Daniel, seperti agama Islam dan agama lainnya, Kristen juga mengajarkan nilai-nilai persaudaraan dan kasih sayang berlandas cinta kasih dan kemanusiaan.
“Ajaran cinta kasih antar sesama dalam nilai-nilai kemanusiaan ini menjadi titik temu umat Kristen dengan umat agama lainnya,” katanya.
Komisi Germasa GPIB Imanuel Mataram, Frederick S Saboe menjelaskan, dalam Kekristenan pun diajarkan untuk membawa kedamaian untuk alam semesta. Sehingga dengan konsep Rahmatan Lil Alamin dalam Islam dan ajaran Kasih Sayang dalam Kristen menjadi sebuah visi yang sama untuk merajut nilai persaudaraan dalam keberagamaan, tanpa membeda-bedakan satu sama lain.
Ia berharap agar para mahasiswa peserta Youth Camp bisa menjadi agen-agen penggerak perubahan dan perdamaian di tengah masyarakat Indonesia, yang terdiri dari beragam etnis, suku dan agama.
“Jadilah agen-agen penggerak perdamaian. Mari senantiasa membangun komunikasi dengan orang lain. Komunikasi itu lahir ketika ada perjumpaan. Bangunlah perjumpaan-perjumpaan seperti ini, sehingga bisa saling menerima, saling menghormati,” katanya.